Papan peringatan dan petunjuk “Awas HIV-AIDS, Hindari Hubungan Seksual Berisiko” terlihat di sudut-sudut kota tambang emas di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Demam emas di Papua dan penyebaran HIV/AIDS berjalan seiring di Kabupaten Mimika yang berpenduduk 225.000 jiwa itu.
Saat Kompas melintas awal November selepas petang, kehidupan malam terlihat semarak di Timika. “Sekarang-sekarang ini tanggal muda. Banyak pekerja yang buang uang di tempat hiburan di kota ataupun Kilo 10 (lokalisasi di Kilometer 10). HIV dan kemiskinan tumbuh subur di sini,” ujar Husin, seorang warga Timika.
Ketika melintas di Kampung Kwamki Lama dan Kwamki Baru, terlihat penduduk asli duduk-duduk saja di pelataran rumah. Tidak banyak warga asli terlibat dalam perniagaan dan layanan jasa yang menjadi urat nadi Kota Timika. “Sering terjadi keributan antarsuku di sini,” ujar Alfian yang lama bermukim di Timika.
Timika dan Tembagapura adalah potret buram hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Kekayaan bumi Indonesia diangkut keluar, sedangkan masyarakat sekitar hidup miskin dan didera bahaya HIV/AIDS.
Setiap hari dari tambang emas, perak, dan tembaga milik PT Freeport Indonesia dihasilkan sekitar 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak serta tembaga dari 238.000 ton batuan yang dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut dekat Cartenz Piramid.
“Dulu sewaktu zaman Belanda dan pertambangan belum buka di Timika, situasi tidak seburuk sekarang. Anak muda Papua sudah banyak yang mulai bekerja di instalasi minyak di Sorong,” ujar seorang warga Papua bermarga Kambu.
Konflik dan benturan antara warga dan industri pertambangan menjadi pemandangan keseharian di Timika-Tembagapura.
Amerika merajalela
Hubungan Indonesia-AS yang manis berubah menjadi pahit di Papua. Freeport Indonesia dan pelbagai perusahaan pertambangan AS yang beroperasi di Indonesia adalah buah simalakama dari rezim Orde Baru setelah Belanda hengkang dari bumi Papua.
Tekanan diplomasi AS kepada Belanda berbuah Papua kembali ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, konsesi politik dan ekonomi, terutama pada masa Orde Baru, diberikan secara bebas kepada AS.
Padahal, tidak hanya AS, Uni Soviet pun turut dalam proses perebutan Papua. Laksamana Pertama (Purn) RP Poernomo yang dihubungi mengatakan, Uni Soviet menjual 12 kapal selam kepada Indonesia untuk operasi merebut Irian Barat.
Selain Uni Soviet, Republik Rakyat China ketika itu juga aktif membantu Indonesia secara langsung dalam pelbagai proyek dan forum internasional.
Alih-alih mendapat balas jasa, rezeki terbesar ditangguk AS melalui konsesi pertambangan di Tembagapura. Kokohnya cengkeraman AS semakin kuat setelah Orde Baru berkuasa.
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dalam surat elektronik kepada Kompas menjelaskan, Freeport saat ini beroperasi di Indonesia berdasarkan kontrak karya (KK) perpanjangan tahun 1991, di mana royalti emas Freeport yang harus dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 1 persen. Padahal, setiap hari dihasilkan 300 kg emas.
Namun, menurut Sekjen IHCS Gunawan, kini royalti pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. Tetapi, anehnya, untuk Freeport, hanya dikenakan sebesar 1 persen dari harga jual kali tonase, padahal 3 persen sangat rendah dibandingkan di negara-negara Afrika.
Ketua rombongan kunjungan kerja Komisi VII DPR Effendy Simbolon mengatakan, royalti yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia sangatlah kecil. “Kita harus perjuangkan soal bagi hasil dan alokasi dana tersebut untuk masyarakat,” ujar Simbolon.
Tanam paksa lebih baik
Bagi hasil industri pertambangan ala AS sungguh merugikan Indonesia. Tanam paksa yang dilakukan rezim penjajahan Hindia Belanda pada abad ke-19 masih menyisihkan 20 persen hasil panen untuk petani miskin di Jawa. Dalam buku Ekspedisi Jalan Raya Pos terbitan Penerbit Buku Kompas disebutkan, 60 persen hasil petani diambil oleh birokrasi lokal. Hanya 20 persen yang dikirim ke negeri Belanda. Meski tidak manusiawi, porsi yang diberikan penjajah Belanda masih lebih baik dibandingkan hasil yang diberikan AS kepada Indonesia.
Sebelum kontrak karya yang kini berlaku, lebih kurang 25 tahun, Freeport hanya membayar royalti tembaga ke pemerintah. Sejak masuk ke tanah Papua berdasarkan kontrak karya generasi pertama (KK I) tahun 1967, Freeport hanya melaporkan pihaknya menambang tembaga. Padahal, pada tahun 1978, terbukti selain mengekspor tembaga, Freeport juga mengekspor emas.
Atas dasar itu IHCS mendesak, kontrak karya II antara Pemerintah Indonesia dan Freeport harus dibatalkan. Menyikapi situasi tersebut, IHCS akan mengajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat PTFI, Pemerintah RI, dan DPR.
Kondisi serupa terlihat di pertambangan minyak dan gas AS di Kepulauan Riau, Kalimantan, dan Sumatera.
Meski diplomasi pencitraan Presiden Barack Obama memikat hati, sudut-sudut kota Timika berbicara lain. Itulah potret buram hubungan RI-AS yang pincang
Pulauweb Web Hosting Murah Indonesia
Saat Kompas melintas awal November selepas petang, kehidupan malam terlihat semarak di Timika. “Sekarang-sekarang ini tanggal muda. Banyak pekerja yang buang uang di tempat hiburan di kota ataupun Kilo 10 (lokalisasi di Kilometer 10). HIV dan kemiskinan tumbuh subur di sini,” ujar Husin, seorang warga Timika.
Ketika melintas di Kampung Kwamki Lama dan Kwamki Baru, terlihat penduduk asli duduk-duduk saja di pelataran rumah. Tidak banyak warga asli terlibat dalam perniagaan dan layanan jasa yang menjadi urat nadi Kota Timika. “Sering terjadi keributan antarsuku di sini,” ujar Alfian yang lama bermukim di Timika.
Timika dan Tembagapura adalah potret buram hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Kekayaan bumi Indonesia diangkut keluar, sedangkan masyarakat sekitar hidup miskin dan didera bahaya HIV/AIDS.
Setiap hari dari tambang emas, perak, dan tembaga milik PT Freeport Indonesia dihasilkan sekitar 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak serta tembaga dari 238.000 ton batuan yang dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut dekat Cartenz Piramid.
“Dulu sewaktu zaman Belanda dan pertambangan belum buka di Timika, situasi tidak seburuk sekarang. Anak muda Papua sudah banyak yang mulai bekerja di instalasi minyak di Sorong,” ujar seorang warga Papua bermarga Kambu.
Konflik dan benturan antara warga dan industri pertambangan menjadi pemandangan keseharian di Timika-Tembagapura.
Amerika merajalela
Hubungan Indonesia-AS yang manis berubah menjadi pahit di Papua. Freeport Indonesia dan pelbagai perusahaan pertambangan AS yang beroperasi di Indonesia adalah buah simalakama dari rezim Orde Baru setelah Belanda hengkang dari bumi Papua.
Tekanan diplomasi AS kepada Belanda berbuah Papua kembali ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, konsesi politik dan ekonomi, terutama pada masa Orde Baru, diberikan secara bebas kepada AS.
Padahal, tidak hanya AS, Uni Soviet pun turut dalam proses perebutan Papua. Laksamana Pertama (Purn) RP Poernomo yang dihubungi mengatakan, Uni Soviet menjual 12 kapal selam kepada Indonesia untuk operasi merebut Irian Barat.
Selain Uni Soviet, Republik Rakyat China ketika itu juga aktif membantu Indonesia secara langsung dalam pelbagai proyek dan forum internasional.
Alih-alih mendapat balas jasa, rezeki terbesar ditangguk AS melalui konsesi pertambangan di Tembagapura. Kokohnya cengkeraman AS semakin kuat setelah Orde Baru berkuasa.
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dalam surat elektronik kepada Kompas menjelaskan, Freeport saat ini beroperasi di Indonesia berdasarkan kontrak karya (KK) perpanjangan tahun 1991, di mana royalti emas Freeport yang harus dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 1 persen. Padahal, setiap hari dihasilkan 300 kg emas.
Namun, menurut Sekjen IHCS Gunawan, kini royalti pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. Tetapi, anehnya, untuk Freeport, hanya dikenakan sebesar 1 persen dari harga jual kali tonase, padahal 3 persen sangat rendah dibandingkan di negara-negara Afrika.
Ketua rombongan kunjungan kerja Komisi VII DPR Effendy Simbolon mengatakan, royalti yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia sangatlah kecil. “Kita harus perjuangkan soal bagi hasil dan alokasi dana tersebut untuk masyarakat,” ujar Simbolon.
Tanam paksa lebih baik
Bagi hasil industri pertambangan ala AS sungguh merugikan Indonesia. Tanam paksa yang dilakukan rezim penjajahan Hindia Belanda pada abad ke-19 masih menyisihkan 20 persen hasil panen untuk petani miskin di Jawa. Dalam buku Ekspedisi Jalan Raya Pos terbitan Penerbit Buku Kompas disebutkan, 60 persen hasil petani diambil oleh birokrasi lokal. Hanya 20 persen yang dikirim ke negeri Belanda. Meski tidak manusiawi, porsi yang diberikan penjajah Belanda masih lebih baik dibandingkan hasil yang diberikan AS kepada Indonesia.
Sebelum kontrak karya yang kini berlaku, lebih kurang 25 tahun, Freeport hanya membayar royalti tembaga ke pemerintah. Sejak masuk ke tanah Papua berdasarkan kontrak karya generasi pertama (KK I) tahun 1967, Freeport hanya melaporkan pihaknya menambang tembaga. Padahal, pada tahun 1978, terbukti selain mengekspor tembaga, Freeport juga mengekspor emas.
Atas dasar itu IHCS mendesak, kontrak karya II antara Pemerintah Indonesia dan Freeport harus dibatalkan. Menyikapi situasi tersebut, IHCS akan mengajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat PTFI, Pemerintah RI, dan DPR.
Kondisi serupa terlihat di pertambangan minyak dan gas AS di Kepulauan Riau, Kalimantan, dan Sumatera.
Meski diplomasi pencitraan Presiden Barack Obama memikat hati, sudut-sudut kota Timika berbicara lain. Itulah potret buram hubungan RI-AS yang pincang
Pulauweb Web Hosting Murah Indonesia