Search This Blog

Penjelasan tentang Fai

Bisnis Syariah,  Tukar Link, Directory Ali Ashari, Ali Ashari

Kata Fai adalah istilah syar’i, yaitu sebutan yang digunakan oleh nash syariah, dengan makna tertentu, sebagaimana kata shalat, jihad, shaum, haji, jhilafah dan sebagainya. Istilah ini bukan buatan para fukaha, tetapi dari Allah dan Rasul-Nya, baik dinyatakan dalam al-Quran maupun al-Hadis.1
 
Para ulama menjelaskan, bahwa Fai adalah semua harta yang dikuasai kaum Muslim dari harta orang kafir tanpa pengerahan pasukan berkuda maupun unta, atau ditaklukkan tanpa kesulitan dan peperangan.2 Fai berbeda dengan ghanîmah, karena ghanîmah diperoleh oleh kaum Muslim dengan usaha, mengerahkan kuda dan unta; dengan kata lain, diperoleh melalui peperangan.3 Contoh harta Fai adalah harta yang diperoleh kaum Muslim dari Yahudi Bani Nadhir; kampung halaman dan harta-harta yang ditinggalkan oleh kaum kafir karena gentar menghadapi kaum Muslim. Kaum Muslim berhak menguasai semua harta benda yang ditinggalkan kaum kafir.

Harta Fai juga mencakup harta-benda—sebagian tanah maupun harta-benda—yang diserahkan kaum kafir karena takut menghadapi tentara Islam. Contohnya adalah harta yang diperoleh kaum Muslim dari penduduk Fadak yang beragama Yahudi. Inilah makna fai yang dimaksud dalam firman Allah SWT:
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS al-Hasyr [59]: 6).

Harta yang diperoleh kaum Muslim dari Yahudi Bani Nadhir dan penduduk Fadak tidak didahului dengan peperangan. Harta semacam ini menjadi milik Rasulullah saw. Sebagian harta Fai ini Baginda belanjakan untuk keperluan keluarganya selama setahun, dan sisanya digunakan untuk penyediaan amunisi dan senjata untuk berperang di jalan Allah.4 Praktik seperti ini diteruskan oleh Abu Bakar dan Umar ra.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam bab Khumus, bahwa Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Saad bin Abi Waqash pernah meminta izin kepada Umar untuk memasuki rumah kediaman Umar, dan Umar mengizinkannya. Kemudian mereka duduk dengan tenang. Lalu datang Ali dan Abbas yang juga meminta izin masuk. Umar pun mengizinkan mereka berdua. Ali dan Abbas masuk, memberi salam, lalu duduk. Abbas berkata, “Amirul Mukminin, berikanlah keputusan antara aku dan orang ini (Ali ra.)—kedua orang ini tengah berselisih dalam hal Fai yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. dari harta Bani Nadhir.
Mendengar hal itu, Utsman dan sahabatnya berkata, “Amirul Mukminin, buatlah keputusan di antara mereka berdua agar satu sama lain bisa merasa puas.”

Berkatalah Umar, “Kusampaikan kepada kalian dan bersumpahlah kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah berkata, ’Segala sesuatu yang kami tinggalkan tidak diwariskan tetapi menjadi shadaqah’, dan yang Rasulullah saw maksudkan itu adalah beliau sendiri’.

Berkatalah mereka semua, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.”
Umar lalu berpaling kepada Ali dan Abbas seraya berkata, “Bersumpahlah kalian berdua dengan nama Allah, tahukah kalian berdua bahwa Rasulullah saw. telah bersabda seperti itu?’”Mereka berdua menjawab, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.” 

Berkatalah Umar, “Maka akan kukabarkan kepada kalian tentang hal ini, yaitu bahwa Allah SWT telah mengkhususkan Fai ini kepada Rasul-Nya dan tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau.”
Kemudian Umar membacakan ayat: “Apa saja harta rampasan (Fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka,” sampai firman Allah: “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” Hal ini menunjukan bahwa Fai ini benar-benar menjadi milik Rasulullah saw. Demi Allah, harta tersebut dihindarkan dari kalian, tidak diwariskan kepada kalian. Akan tetapi, beliau telah memberikan sebagian dari harta tersebut kepada kalian dan membagikannya di antara kalian, sedangkan sisanya oleh Rasulullah saw. dibelanjakan sebagian untuk keperluan keluarganya selama setahun dan sisanya dijadikan oleh beliau tetap menjadi harta milik Allah. Rasulullah telah melakukan hal tersebut selama hidupnya. Bersumpahlah dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’

Mereka semua menjawab, “Ya.”
Selanjutnya Umar berkata, “Kemudian Allah mewafatkan Nabi-Nya, dan saat itu Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah pengganti Rasulullah saw.’ Lalu Abu Bakar menahan harta tersebut dan kemudian melakukan tindakan seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah mengetahui bahwa dia (Abu Bakar) dalam mengelola harta tersebut sungguh berada dalam sifat yang benar, baik, mengikuti petunjuk serta mengikuti yang haq. Kemudian Allah mewafatkan Abu Bakar dan akulah yang menjadi pengganti Abu Bakar. Aku pun menahan harta tersebut selama dua tahun dari masa pemerintahanku. Aku memperlakukan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Selain itu, Allah mengetahui bahwa aku dalam mengelola harta tersebut berada dalam kebenaran, kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran.” (HR al-Bukhari).

Atas dasar itu, harta Fai yang diperoleh kaum Muslim merupakan milik Allah, seperti halnya Kharaj dan Jizyah. Harta seperti ini disimpan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim serta memelihara urusan mereka, berdasarkan keputusan atau ijtihad seorang khalifah.
Harta Fai juga mencakup tanah yang ditaklukkan, baik dengan paksa maupun sukarela, dan semua harta yang mengikutinya, yaitu Kharaj, Jizyah perorangan dan ‘Usyur dari perdagangan. Alasannya adalah firman Allah SWT:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri, maka (harta benda itu) untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, dan agar supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).
Berdasarkan ayat di atas, Khalifah Umar ra. tidak membagi-bagikan tanah-tanah subur di Irak, Syam dan Mesir meskipun didesak oleh para Sahabat. Bilal dan beberapa orang Sahabat bersikeras meminta agar tanah-tanah tersebut dibagikan kepada mereka. Perlu diketahui bahwa, tanah-tanah tersebut ditaklukkan secara paksa dengan pedang mereka. Itu dapat diketahui dengan jelas dalam diskusi mereka dengan Umar, yaitu saat mereka berkata kepadanya, “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah Allah berikan kepada kami melalui pedang-pedang kami, kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka padahal mereka tidak hadir?”
 
Di dalam percakapan Umar dengan 10 orang Anshar juga tampak jelas, bahwa Kharaj dan Jizyah termasuk harta Fai. Beliau berkata, “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan perang dengan penduduknya, kemudian menetapkan Kharaj atas mereka (penduduknya) dari tanah tersebut, serta Jizyah untuk budak-budak mereka, dan menjadikannya sebagai harta Fai bagi kaum Muslim, untuk tentara dan keturunannya serta untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR al-Bukhari).
Setelah menetapkan Kharaj atas tanah Irak, Syam dan Mesir, Umar ra. berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muslim kecuali berhak mendapatkan bagian dalam harta ini.” Lalu Umar membacakan ayat, “Apa saja dari harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri” hingga “dan orang-orang yang datang setelah mereka.” (QS al-Hasyr: 10). Kemudian Umar berkata, “Harta ini akan aku ambil semuanya untuk (kepentingan) seluruh kaum Muslim, dan sungguh, jika aku menahannya, niscaya akan datang seorang penguasa dengan sarwi Himyar dan meminta bagian dari harta tersebut dengan kening tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun.” (HR Ibn Qudamah dalam al-Mughni).

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa harta Fai adalah harta yang diperoleh oleh kaum Muslim dari harta kaum kafir, tanpa peperangan, dimana harta, rumah dan tanah mereka ditinggalkan karena takut kepada pasukan kaum Muslim. Konteks ini ada ketika ada Khilafah yang melakukan jihad ofensif, dengan mengerahkan pasukannya hingga sampai di negara kafir, sebagaimana kasus Bani Nadhir. 

Karena itu, menggunakan istilah Fai dalam konteks negara Khilafah tidak ada; tidak ada jihad ofensif; tidak pula ada harta-benda, rumah dan tanah yang ditinggalkan oleh kaum kafir karena takut kepada pasukan Khilafah adalah bentuk tahrif (penyimpangan); menyelewengkan istilah syariah tidak sesuai dengan konteksnya, dan ini merupakan tindakan yuharrifuna al-kalima ’an mawadhi’ihi, yang diharamkan dalam Islam. Apalagi menggunakan istilah Fai untuk menjustifikasi perampokan; maka berdosa dua kali: dosa menyelewengkan istilah dan dosa merampok. Wallahu a’lam.

Pulauweb Web Hosting Murah Indonesia

Bejubel Market Place Terbaik Indonesia